ABSTRAK
Penggunaan lahan berubah dengan pesat di Asia Tenggara, dari hutan menjadi sistem dengan
tutupan berbagai jenis
pepohonan.
Daerah hulu Way Besai, salah satu daerah aliran sungai (DAS) seluas 40.000 ha di Lampung Barat, Sumatra, mencakup Kecamatan
Sumberjaya dengan luas
areal 54.200
ha adalah salah satu contoh daerah yang mengalami alih guna lahan yang
cepat. Hutan di wilayah
ini berubah
menjadi mosaik lansekap dengan berbagai tingkat penutupan lahan. Sumberjaya mengalami perubahan yang relatif cepat selama
tiga dasa warsa
terakhir.
Hutan yang semula luasnya mencapai 60% telah berubah menjadi perkebunan kopi rakyat, persawahan di lembah bukit, dan perkampungan,
sehingga hutan yang
tersisa
hanya 12% dari total luas lahannya. Perubahan itu diiringi pergolakan masyarakat, bahkan ada yang
disertai kekerasan selama sepuluh tahun
terakhir. Pemahaman
yang seksama tentang perubahan yang
terjadi harus bertitik-tolak
dari sudut pandang historisnya, dan berdasarkan pengamatan secara cermat terhadap perubahan penggunaan dan penutupan
lahan selama beberapa
dekade terakhir. Dengan menggunakan pendekatan analisis sistem, kajian ini menganalisis pengaruh fluktuasi harga kopi di
pasar dunia, pertumbuhan
penduduk dan migrasi, serta dampak pembangunan jalan dan infra struktur terhadap alih
guna lahan dan fungsi DAS di Sumberjaya.
Kajian ini menyimpulkan
bahwa setelah fase degradasi hutan, rehabilitasi dapat berjalan selama kondisinya
mendukung. Dalam 15
tahun terakhir, semakin banyak budidaya kopi yang semula berbentuk sistem monokultur, secara
bertahap berubah menjadi budidaya kopi
campuran dengan pohonpohon
penaung.
Pengamatan menunjukkan bahwa sejalan dengan berlangsungnya penebangan hutan, terjadi pula penanaman kembali pohon-pohonan.
Pada saat krisis
ekonomi di
Asia Tenggara berlangsung dan
membawa dampak serius terhadap perekonomian
Indonesia sejak
akhir 1997,
DAS yang berorientasi komoditas ekspor ini justru mengalami lonjakan ekonomi; walaupun fluktuasi tahunan harga kopi juga merupakan
masalah besar. Makalah ini
membahas tentang kecenderungan terakhir dari adanya alih guna lahan, faktor-faktor
pendorongnya, dan
bagaimana para petani (dan juga instansi pemerintah) merespon terhadap perubahan yang
sedang berjalan.
Kata kunci: Berkelanjutan, faktor pendorong
terjadinya alih guna
lahan, kopi multistrata, fungsi DAS
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pembangunan kehutanan
diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat
dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan. Dalam
pelaksanaan pembangunan kehutanan sangat diperlukan peran serta masyarakat di
dalam dan di luar kawasan hutan. Untuk itu keberhasilan pembangunan kehutanan
sangat ditentukan oleh keberhasilan pembangunan masyarakat sekitar terutama
untuk peningkatan kesejahteraan.
Perubahan penggunaan
lahan dari hutan menjadi areal pertanian merupakan kenyataan yang terjadi
sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Di daerah Sumberjaya, masyarakat
telah banyak mengkonversi lahan hutan menjadi areal perkebunan kopi sebagai
mata pencahariannya. Pada tahun 1970-an sekitar 60% daerah ini masih dalam
keadaan hutan alam, tetapi pada akhir tahun 1990-an hanya sekitar 15% hutan
yang masih tertinggal.
Alih fungsi lahan
hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti
penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan
dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu
ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversikan
menjadi lahan usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan
lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi
erosi lahan karena air hujan.
1.2. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah agar
mahasiswa/pembaca lebih mengetahui Agroforestry bebasis Kopi. Dan agar
mengetahui budidaya Kopi
1.3. Manfaat
Manfaatnya agar kita lebih paham tentang
Agroforestry berbasis Kopi. Dan menjaga lingkungan disekitarnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA
Agroforestri
sebagai suatu sistem pengolahan lahan yang berazaskan kelestarianuntuk
meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan, yaitu dengan
mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan)
dan tanaman hutan, dan atau hewan secara bersamaan atau berurutan, pada unit
lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan budaya
setempat. Ada juga yang mendefinisikan Agroforestri sebagai Suatu metode
penggunaan lahan secara optimal yang mengkombinasikan sistem produksi biologis
yang berotasi pendek dan panjang, secara bersamaan atau berurutan (suatu
kombinasi produksi kehutanan dan produksi biologis lainnya) dengan cara yang
dilandasi oleh azas kelestarian, dalam suatu kawasan hutan atau kawasan di
luarnya, dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Penanaman berbagai macam pohon dengan atau tanpa
tanaman setahun (semusim) pada lahan yang sama sudah sejak lama dilakukan
petani di Indonesia. Contoh ini dapat di lihatdengan mudah pada lahan
pekarangan di sekitar tempat tinggal petani. Praktek ini semakinmeluas
belakangan ini khususnya di daerah pinggiran hutan dikarenakan Ketersediaan
lahan yang semakin terbatas Konversi hutan alam
menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak
masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna,
banjir, kekeringan dan bahkan perubahan
lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke
waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversi menjadi
lahan usaha lain. Maka lahirlah agroforestri sebagai suatu cabang ilmu
pengetahuan baru di bidang pertanian atau kehutanan. Ilmu ini berupaya
mengenali dan mengembangkan keberadaan sistem agroforestri yang telah
dikembangkan petani di daerah beriklim tropis maupun beriklim
subtropis sejak berabad-abad yang lalu. Agroforestri
merupakan gabungan ilmu kehutanan dengan agronomi, yang memadukan usaha
kehutanan dengan pembangunan pedesaan untuk
menciptakan keselarasan antara intensifikasi pertanian dan
pelestarian hutan. Agroforestri diharapkan bermanfaat selain untuk
mencegah perluasan tanah terdegradasi, melestarikan sumberdaya
hutan, meningkatkan mutu pertanian serta menyempurnakan
intensifikasi dan diversifikasi silvikultur. Sistem
ini telah dipraktekkan oleh petani di berbagai
tempat di Indonesia selama berabad-abad (Michon dan de Foresta, 1995), misalnya
sistem ladang berpindah, kebun campuran di lahan sekitar rumah (pekarangan) dan
padang penggembalaan. Contoh lain yang umum dijumpai di Jawa adalah
mosaik-mosaik padat dari hamparan persawahan dan tegalan produktif yang diselang-selingi
oleh rerumpunan pohon.
Sebagian dari rerumpunan pohon tersebut mempunyai struktur yang mendekati hutan alam dengan beraneka-ragam spesies tanaman. Berdasarkan motivasi yang dimiliki petani, terdapat dua sistem terbentuknya agroforestri di lapangan yaitu sistem bercocok tanam "tradisional" dan sistem "modern". Sistem "tradisional" adalah sistem yang "dikembangkan dan diuji" sendiri oleh petani, sesuai dengan keadaan alam dan kebutuhan atau permintaan pasar, serta sejalan dengan perkembangan pengalamannya selama bertahun-tahun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam sistem “tradisional”, pengembangan bercocok tanam biasanya hanya didasarkan pada usaha coba-coba (trial and error), tanpa penelitian formal maupun bimbingan dari penyuluh/petugas lapangan. Dalam sistem bercocok tanam "modern", gagasan dan teknologi berasal dari hasil-hasil penelitian.
Sebagian dari rerumpunan pohon tersebut mempunyai struktur yang mendekati hutan alam dengan beraneka-ragam spesies tanaman. Berdasarkan motivasi yang dimiliki petani, terdapat dua sistem terbentuknya agroforestri di lapangan yaitu sistem bercocok tanam "tradisional" dan sistem "modern". Sistem "tradisional" adalah sistem yang "dikembangkan dan diuji" sendiri oleh petani, sesuai dengan keadaan alam dan kebutuhan atau permintaan pasar, serta sejalan dengan perkembangan pengalamannya selama bertahun-tahun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam sistem “tradisional”, pengembangan bercocok tanam biasanya hanya didasarkan pada usaha coba-coba (trial and error), tanpa penelitian formal maupun bimbingan dari penyuluh/petugas lapangan. Dalam sistem bercocok tanam "modern", gagasan dan teknologi berasal dari hasil-hasil penelitian.
Pada
dasarnya agroforestri mempunyai komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian, peternakan
dan perikanan. Penggabungan komponen-komponen yang termasuk dalam agroforestri
dikenal dengan nama :
- Agrisilvikultur merupakan Kombinasi antara
komponen atau kegiatan kehutanan (pohon, perdu, palem, bambu, dll.) dengan
komponen pertanian.
- Silvopastura merupakan Kombinasi antara komponen
atau kegiatan kehutanan dengan peternakan
- Agrosilvopastur merupakan Kombinasi antara
komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan
III. PEMBAHASAN
3.1. Defenisi Agroforestry
Berbasis Kopi
Agroforestry berbasis Kopi merupakan
model tanaman alam yang sengaja tumbuh untuk menurunkan tingkat erosi yang
terjadi akibat air hujan atau aliran sungai.
Secara tradisional, praktek wanatani telah
berkembang di seluruh penjuru nusantara yang dilakukan oleh masyarakat
Indonesia sebagai wujud kearifan lokal dalam menjaga hutan di sekitar mereka.
Pengembangan wanatani secara tradisional dikemas dalam konsep kebun campuran, tegalan
berpohon, ladang, lahan bera
(belukar), kebun pekarangan,
hingga hutan-hutan tanaman rakyat yang lebih kaya jenis seperti yang dikenal
dalam rupa talun di Jawa Barat,
repong di Lampung
Barat, parak di Sumatra
Barat, tembawang (tiwmawakng) di Kalimantan Barat,
simpung (simpukng) di Kalimantan
Timur, kebun karet campur di Jambi dan
lain-lain bentuk di berbagai daerah di Indonesia
Sistem agroforestri merupakan
kombinasi berbagai jenis pohon dengan tanaman semusim. Sistem agroforestri
telah dilaksanakan sejak dahulu kala oleh petani di berbagai daerah, dengan
berbagai macam iklim, jenis tanah dan sistem pengelolaannya. Pengelolaan sistem
agroforestri berbeda-beda antar petani. Tindakan pemupukan, pengolahan tanah,
penyiangan, pemangkasan dan pemberantasan hama serta penyakit sangat bergantung
kepada ketersediaan modal, tenaga kerja dan budaya. Adanya perbedaan
pengelolaan tersebut mengakibatkan perbedaan kuantitas dan kualitas produksi
agroforestri, walaupun sistem agroforestri yang diusahakan mungkin mempunyai
komponen yang sama (Noordwijk dan Lusiana dalam Hairiah dkk, 2002). Salah satu
bentuk perwujudan agroforestri, agroforest kopi pengelolaannya hanya memerlukan
modal dan biaya pemeliharaan yang rendah. Universitas Sumatera Utara
Keuntungannya tidak hanya dari segi modal dan biaya, tetapi juga dari segi
konservasi lingkungan dan keragaman hayati serta mempunyai nilai positif
terhadap perbaikan kondisi hidrologi pada daerah aliran sungai. Kelemahan dari
kebun karet adalah produktivitasnya rendah sehingga menjadi hambatan untuk
pengembangan di masa depan, karena petani akan lebih memilih jenis tanaman atau
usaha yang lebih menguntungkan
3.2. Mekanisme Agroferestry
berbasis Kopi
Tahap untuk penanaman kopi yaitu pertama
memilih lahan yang akan ditanami kopi, setelah lahan dipilih maka selanjutnya
dilakukan pembukaan lahan dan persiapan lahan dengan cara melakukan pembersihan
lahan. Pembersihan dapat dilakukan dengan membersihkan semak belukar dan
kayu-kayu kecil serta melakukan penebangan pohon yang tidak dibituhkan sebagai
naungan pada tanaman kopi. Pembersihan lahan dapat dilakukan dengan menggunakan
alat seperti sabit untuk membersihkan semak belukar dan menggunakan alat berat seperti
alat untuk menebang pohon. Pembersihan areal lahan juga sering di akhiri dengan
tahap pengolahan tanah. pengolahan tanah umumnya dilakukan dengan cara mekanis
khususnya pada areal yang dibuka untuk penanaman kopi yang cukup luas. Pada
kegiatan pembersihan areal lahan juga perlu dilakukan pembuatan jalan setapak
dan saluran drainase supaya air pada saat musim hujan tidak lepas begitu saja
dan dapatmasuk kedalam tanah. Tanaman kopi dapat tumbuh pada berbagai jenis
tanah, asalkan persyaratan fisik dan kimia tanah yang berperan pada pertumbuhan
dan produksi tanaman kopi bisa terpenuhi. Kemasaman tanah (pH), kadar zat
organik, unsur hara, kapasitas adsorbsi dan kejenuhan basa merupakan sifat
kimia yang perlu diperhatikan, sedangkan faktor fisiknya adalam kedalaman
efektif, tinggi permukaan air tanah, drainase, struktur dan konsistensi tanah.
Selain itu kemiringan lahan juga merupakan sifat fisik yang mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan dari tanaman kopi. Pembuatan lubang tanam
dapat dipandang sebagai salah satu bentuk pengolahan tanah dalam skala kecil
dan dianggap sebagai salah satu upaya minimumtillage. Pembuatan lubang tanam
bertujuan untuk menyediakan lingkungan perakaran yang optimal bagi bibit kopi
baik secara fisik, kimia dan biologi. Tanah yang berada dilapangan sering
terlalu mampat bagi perakaran bibit kopi untuk berkembang dengan baik setelah
dipindahkan dari tanah gembur di dalam polibag. Oleh karena itu kondisi yang
relative sama dengan pembibitan perlu disiapkan dilapangan dengan cara mengolah
tanah seminimal mungkin atau dengan cara membuat lubang tanam bagi bibit kopi.
Dengan pembuatan lubang tanam ini maka diharapkan dapat mendukung tanaman dalam
beradaptasi dengan baik pada awal pertumbuhannya dilapang. Ukuran lubang tanam
yang sering diterapkan di lapang sekitar 60 x 60 x 60 cm. untuk pembuatan
lubang tanam sendiri dibuat 3 – 6 bulan sebelum melakukan penanaman dengan cara
membiarkan tanah galian teronggok disekitar lubang 2 – 3 bulan.
Pada umumnya, alih guna lahan dari hutan
menjadi kebun kopi maupun sistem pertanian lainnya akan menyebabkan perubahan
kondisi lingkungan di sekitarnya terutama fungsi hidrologi, kesuburan tanah,
cadangan karbon dan keragaman hayati. Pengelolaan lahan dengan menanam berbagai
jenis pohon sebagai penaung tanaman kopi (agroforestri berbasis kopi) telah
banyak dilaporkan dapat membantu mempertahankan fungsi lingkungan. Selain itu,
kondisi pada agroforestri berbasis kopi dengan pohon penaung yang lebih beragam
hingga menyerupai hutan, mempunyai stabilitas ekosistem yang lebih tinggi
sehingga potensi terjadinya ledakan hama berkurang (Schroth dalam Rahayu,
2006). Pertanaman kopi di Lampung pada umumnya bersistem monokultur. Pola tanam
kopi monokultur ini memiliki beberapa kelemahan antara lain lebih rentan terhadap
gangguan OPT, memiliki masukan seresah yang rendah, kanopi terbuka, dan kondisi
iklim mikronya yang kering yang tidak cocok bagi aktivitas musuh alami hama
tanaman. Untuk memperbaiki ekosistem tersebut dilakukan penanaman kopi
bernaungan atau sistem agroforestri. Penerapan sistem agroforestri pada tanaman
kopi yang dicirikan oleh banyaknya pohon penaung memberi beberapa manfaat.
Sistem ini dapat meningkatkan keragaman hayati, mengkonservasi kesuburan tanah,
dan meningkatkan kesehatan tanaman. Sistem agroforestri memiliki kemiripan
dengan hutan yaitu ekosistemnya yang stabil sehingga mampu menghambat
perkembangan OPT pada tanaman kopi (Staver dalam Maharani, 2013).
Selain
menanam pohon kayu-kayuan yang sekaligus berperan sebagai pohon pelindung kopi,
penerapan teknologi konservasi diperlukan untuk mengelola usahatani kopi di
kawasan hutan yang umumnya daerahnya berbukit, curam, dan terjal yaitu dengan
menerapkan konservasi tanah dan air, konservasi biotik, serta pengurangan
risiko usaha dengan diversifikasi. Namun penerapan konservasi tanah petani kopi
masih rendah. Penerapan konservasi tanah usahatani kopi di kawasan hutan
Lampung Barat adalah 50,13 persen dan untuk luar kawasan hutan 53,81.
3.3. Jenis-Jenis
Agroforestry
Pola agroforestri dapat dikelompokkan
menjadi dua kategori utama, yakni sistem agroforestri sederhana dan sistem
agroforestri kompleks. Kedua tipe ini berasal dari dua konsepsi yang berbeda
dan membutuhkan pendekatan yang berbeda pula.
1.
Sistem Agroforestri Sederhana
Sistem agroforestri sederhana adalah
suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan satu
atau lebih tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi
petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain
misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.
Sistem agroforestri sederhana adalah
perpaduan-perpaduan konvensional yang terdiri atas sejumlah kecil unsur,
menggambarkan apa yang kini dikenal dengan sebagai skema agroforestri klasik.
Dari sudut penelitian dan persepsi berbagai lembaga yang menangani
agroforestri, tampaknya sistem agroforestri sederhana menjadi perhatian utama.
Biasanya perhatian terhadap perpaduan tanaman itu menyempit menjadi satu unsur
pohon yang memiliki peran penting (seperti kelapa, karet,
cengkeh, jati dan lain-lain) atau memiliki peran ekologi (seperti dadap dan
petai cina) dan sebuah unsur tanaman musiman kopi, yang juga memiliki nilai
ekonomi.
2. Sistem
Agroforestri Kompleks
Sistem
agroforestri kompleks atau singkatnya agroforest, adalah sistem-sistem yang
terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman, dan atau
rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan
alam primer atau sekunder. Sistem agroforestri kompleks bukanlah hutan-hutan
yang ditata lambat laun melalui transformasi ekosistem secara alami, melainkan
merupakan kebun-kebun yang ditanam melalui proses perladangan. Kebun-kebun
agroforest dibangun pada lahan-lahan yang sebelumnya dibabati kemudian ditanami
dan diperkaya. Dalam kondisi terbatasnya lahan karena ledakan jumlah penduduk
dan perluasan konsesi penebangan hutan dan transmigrasi serta hutan tanaman
industri, lahan yang masih tersisa kebanyakan sudah berupa agroforest.
3.4. Syarat Tumbuh
Agroforetry berbasis Kopi
Secara ekonomis
pertumbuhan dan produksi tanaman kopi sangat tergantung pada atau dipengaruhi
oleh keadaan iklim dan tanah. Kebutuhan pokok lainnya yang tak dapat diabaikan
adalah mencari bibit unggul yang produksinya tinggi dan tahan terhadap hama dan
penyakit. Setelah persyaratan tersebut dapat dipenuhi, suatu hal yang juga
penting adalah pemeliharaan, seperti: pemupukan, pemangkasan, pohon peneduh,
dan pemberantasan hama dan penyakit.
1.
Iklim
Iklim yang Cocok
untuk Tanaman Kopi :
·
Garis lintang 6‐9 0 LU sampai 24o LS.
·
Tinggi tempat 1250
s/d 1.850 m dpl.
·
Curah hujan 1.500 s/d
2.500 mm/th.
·
Bulan kering (curah
hujan < 60 mm/bulan) 1‐3 bulan.
·
Suhu udara rata‐rata 17‐21o
C.
2.
Angin
Pohon tanaman kopi
tidak tahan terhadap goncangan angin kencang, lebih‐lebih dimusim kemarau. Karena angin itu mempertinggi
penguapan air pada permukaan tanah perkebunan. Selain mempertinggi penguapan,
angin dapat juga mematahkan dan merebahkan pohon pelindung yang tinggi,
sehingga merusakkan tanaman di bawahnya.
3.
Tanah
Sehubungan dengan
tanah ini yang penting untuk dipelajari terutama sifat fisik tanah dan sifat
kimia tanah.
·
Sifat fisik tanah
untuk pertanaman kopi
Sifat fisik tanah
meliputi: tekstur, struktur, air dan udara di dalam tanah. Tanah untuk tanaman
kopi berbeda‐beda, menurut keadaan dari mana asal tanaman itu. Pada
umumnya tanaman kopi menghendaki tanah yang lapisan atasnya dalam, gembur,
subur, banyak mengandung humus, dan permeable, atau dengan kata lain tekstur
tanah harus baik. Tanah yang tekstur/strukturnya baik adalah tanah yang berasal
dari abu gubung berapi atau yang cukup mengandung pasir. Tanah yang demikian
pergiliran udara dan air di dalam tanah berjalan dengan baik. Tanah tidak
menghendaki air tanah yang dangkal, karena dapat membusukkan perakaran, sekurang‐kurangnya kedalaman air tanah 3 meter dari
permukaannya. Akar tanaman kopi membutuhkanoksigen yang tinggi, yang berarti
tanah yang drainasenya kurang baik dan tanah liat berat adalah tidak cocok.
Sebab kecuali tanah itu sulit ditembus akar, peredaran air dan udara pun
menjadi jelek.
Sifat fisik tanah meliputi: tekstur, struktur, air dan udara di dalam tanah. Tanah untuk tanaman
kopi berbeda-beda, menurut keadaan dari mana
asal tanaman itu. Pada umumnya tanaman
kopi menghendaki tanah yang lapisan atasnya
dalam, gembur, subur, banyak mengandung
humus, dan permeable, atau dengan kata lain
tekstur tanah harus baik. Tanah yang
tekstur/strukturnya baik adalah tanah yang
berasal dari abu gubung berapi atau yang cukup
mengandung pasir. Tanah yang demikian
pergiliran udara dan air di dalam
tanah berjalan dengan baik. Tanah
tidak menghendaki air tanah yang dangkal,
karena dapat membusukkan perakaran,
sekurang-kurangnya kedalaman air tanah 3 meter
dari permukaannya. Akar tanaman
kopi membutuhkanoksigen yang tinggi,
yang berarti tanah yang drainasenya kurang
baik dan tanah liat berat adalah
tidak cocok. Sebab kecuali tanah itu sulit ditembus
akar,
peredaran air dan udara pun menjadi jelek.
Demikian pula tanah pasir berat, pada
umumnya kapasitas kelembaban kurang, karena
kurang dapat mengikat air. Selain itu tanah
pasir berat juga mengandung N atau zat lemas. Zat
lemas sangat dibutuhkan oleh tanaman kopi,
terutama dalam pertumbuhan vegetatif. Hal
ini dapat dibuktikan pada pertumbuhan tanaman di tanah-tanah hutan
belantara hasilnya sangat
memuaskan, karena humus banyak mengandung berbagai macam
zat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan
pembuahan. Sebaliknya pada tanah-tanah yang ditanami kembali (tanaman ulang =
replanting pertumbuhan dan hasilnya kurang memuaskan.
Maka apabila dipandang perlu tanaman ulang
ini hendaknya diganti dengan tanaman yang
tidak sejenis, karena tanaman yang berlainan
kebutuhan zat makanan juga berbeda.
Demikian pula tanah
pasir berat, pada umumnya kapasitas kelembaban kurang, karena kurang dapat
mengikat air. Selain itu tanah pasir berat juga mengandung N atau zat lemas.
Zat lemas sangat dibutuhkan oleh tanaman kopi, terutama dalam pertumbuhan
vegetatif. Hal ini dapat dibuktikan pada pertumbuhan tanaman di tanah‐tanah hutan belantara hasilnya sangat
·
Sifat Kimia Tanah
Sifat kimia tanah
yang dimaksud di sini ialah meliputi kesuburan tanah dan PH. Tanaman kopi
menghendaki reksi yang agak asam dengan PH 5,5 ‐
6,5. Tetapi hasil yang baik sering kali diperoleh pada tanaman yang lebih asam,
dengan catatan keadaan fisisnya baik, dengan daun‐daun
cukup ion Ca++ untuk fisiologi zat makanan dengan jumlah makanan tanaman yang
cukup. Pada tanah yang bereaksi lebih asam, dapat dinetralisasi dengan kapur
tohor, atau yang lebih tepat diberikan dalam bentuk pupuk; misalnya serbuk
tulang/Ca‐(PO2) + Calsium metaphospat/Ca(PO2)
3.5
Teknik Penerapan
Pertanaman
kopi memerlukan pohon pelindung. Maka dari itu, sebelum menanam kopi terlebih
dahulu menanam pohon pelindung (Agroforestri). Di Lampung pohon pelindung yang
banyak dipakai petani adalah glirisidea (gamal/kayu hujan). Tahapan persiapan
tanam dan penanaman kopi sbb:
·
Tanamlah pohon
pelindung. Sebaiknya menggunakan jenis lamtoro yang ditanam satu tahun sebelum
kopi ditanam. Penanaman pohon pelindung diletakkan pada satu titik diantara
empat pohon kopi.
·
Setelah pohon pelindung tumbuh, sekitar 1-3
bulan menjelang musim hujan, buatlah lubang tanam untuk kopi dengan ukuran
(panjang x lebar x dalam) 60x60x60 cm. Lubang tanam diisi pupuk kandang
(kotoran sapi) sebanyak 10 kg/lubang, kemudian ditutup dengan tanah bekas
galian.
·
Lubang tanam digali lagi seluas satu cangkul
(sedalam 20 cm) pada saat penanaman. Penanaman kopi secara poliklonal dengan
membentuk komposisi (3-4 klon) yang sesuai. Masing-masing klon ditanam secara
berbaris diantara pohon pelindung
Pengaturan penanaman poliklonal diatur secara sistematis,
setiap klon ditanam dalam lajur tertentu berseling dengan klon pasangan
komposisi yang dipilih, antara lain berdasarkan pada :
· Sifat
daya adaptabilitas daya hasil yaitu yang mampu beradaptasi dengan baik seperti:
klon BP 42, BP 358, dan SA 237 dan toleran terhadap iklim basah seperti; klon
BP 534 dan BP 936,
·
Sifat berbunga yang
relatif serempak agar proses persarian (pembuahan) dapat berlangsung dengan
baik, dan
·
Keseragaman ukuran biji
yang dihasilkan lebih seragam ukuran biji yang tidak seragam dapat menyulitkan
dalam kegiatan pemasaran.
3.6 Efektifitas
dalam Konservasi Tanah
Agroforestry salah satu cara konservasi tanah dan air
secara vegetatif dinilai mampu untuk mengatasi permasalahan penurunan kualitas
lahan, dan peningkatan ekonomi. Dengan penerapan sistim agroforestry diharapkan
mampu mengembalikan fungsi konservasi tanah dan air sebagai sistim penyangga
kehidupan.
Menurut
Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Prof Dr. Ir. Muhjidin Mawardi
MEng, bahwa terdapat paling tidak empat faktor utama yang menentukan
keberhasilan rekayasa konservasi tanah dan air, yaitu sifat-sifat fisik tanah
dan lahan, sifat hujan, interaksi antara hujan dengan tanah dan lahan yang
menghasilkan air limpasan permukaan dan infiltrasi, serta simpanan air dalam
tanah.
Agroforestry
dalam konservasi tanah dan air adalah bagaimana pengaruh kondisi vegetasi suatu
hamparan lahan didalam mengatur tata air memperbaiki kesuburan lahan. Bagaimana
perpaduan pola tanam dan kolaborasi antar macam kegiatan ekonomi yang berbasis
agroforestry yang mengarah perbaikan kondisi lingkungan, sehingga manfaat multi
fungsi dapat dirasakan.
Pengaruh tutupan pohon terhadap
aliran air adalah dalam bentuk (Noordwijk,
et al. 2004 ) :
1.
Intersepsi air hujan. Selama kejadian hujan, tajuk pohon dapat mengintersepsi dan menyimpan sejumlah air hujan
dalam bentuk lapisan
tipis air.
2.
(Waterfilm) pada permukaan daun dan batang yang selanjutnya akan mengalami evaporasi
sebelum jatuh ke tanah. Banyaknya air yang dapat diintersepsi dan dievaporasi tergantung
pada indeks luas daun (LAI),
karakteristik permukaan daun, dan karakteristik hujan. Intersepsi merupakan komponen penting jika jumlah curah hujan rendah, tetapi dapat diabaikan jika curah
hujan tinggi. Apabila curah hujan
tinggi, peran intersepsi
pohon penting dalam kaitannya dengan pengurangan banjir.
3.
Daya pukul air hujan. Vegetasi dan lapisan seresah melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung
tetesan air hujan yang dapat menghancurkan agregat tanah, sehingga
terjadi pemadatan tanah. Hancuran
partikel tanah akan menyebabkan penyumbatan pori tanah makro
sehingga menghambat infiltrasi air tanah,
akibatnya limpasan permukaan akan meningkat. Peran lapisan seresah dalam melindungi permukaan tanah sangat dipengaruhi oleh
ketahanannya terhadap pelapukan; seresah
berkualitas tinggi (mengandung hara, terutama N tinggi) akan mudah melapuk sehingga fungsi
penutupan permukaan tanah
tidak bertahan lama.
4.
Infiltrasi air. Proses infiltrasi tergantung pada struktur tanah pada lapisan permukaan dan
berbagai lapisan dalam profil tanah. Struktur tanah juga dipengaruhi oleh aktivitas biota yang sumber energinya tergantung kepada bahan organic (seresah di permukaan, eksudasi organik oleh akar, dan akar-akar yang mati). Ketersediaan makanan bagi biota (terutama cacing tanah), penting untuk
mengantisipasi adanya proses peluruhan
dan penyumbatan pori makro tanah.
5.
Serapan air. Sepanjang tahun tanaman menyerap
air dari berbagai
lapisan tanah untuk mendukung
proses transpirasi pada permukaan daun. Faktor– faktor yang mempengaruhi jumlah serapan air oleh pohon adalah fenologi pohon, distribusi akar dan respon fisiologi
pohon terhadap cekaman
parsial air tersedia. Serapan air oleh pohon diantara kejadian hujan akan mempengaruhi
jumlah air yang dapat disimpan dari kejadian hujan berikutnya,
sehingga selanjutnya akan mempengaruhi proses infiltrasi dan aliran
permukaan. Serapan air pada musim kemarau, khususnya
dari lapisan tanah bawah akan
mempengaruhi jumlah air tersedia untuk ‘aliran
lambat’ (slow flow).
6.
Drainase lansekap. Besarnya drainase suatu lansekap (bentang lahan) dipengaruhi
oleh beberapa faktor
antara lain kekasaran permukaan tanah, relief permukaan
tanah yang memungkinkan air tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga mendorong terjadinya
infiltrasi, tipe saluran yang terbentuk akibat aliran permukaan yang dapat memicu
terjadinya ‘aliran cepat air
tanah’
IV. PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Memperhatikan kembali pertanyaan penelitian, kecenderungan alih guna lahan dapat
dibedakan menjadi dua.
Pertama, adanya satu fase deforestasi besar-besaran (dari 60% menjadi 12% penutupan hutan) selama 30 tahun, yang
mengubah hutan menjadi
kebun kopi monokultur. Kedua, dalam selang waktu 15 tahun terjadi perubahan sebagian besar lahan kopi monokultur menjadi kebun kopi dengan
naungan. Di Indonesia, adanya pembangunan
prasarana jalan dan harga
kopi di tingkat petani yang relatif tinggi memicu meningkatnya alih guna lahan pada masa lalu. Pembangunan jalan raya, tidak hanya
mempermudah dan menekan
biaya transportasi beras dari wilayah lain, tetapi juga pemasaran kopi ke luar Sumberjaya. Fluktuasi harga kopi dan efek
negatifnya terhadap
pendapatan
petani, telah mendorong
terjadinya diversifikasi penggunaan lahan
melalui penanamanpepohonan di sela-sela pohon kopi. Tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi
seperti cengkeh dan lada
(dengan Gliricidia)
merupakan alternatif yang baik
untuk
diversifikasi. Akhir-akhir ini banyak ditemukan kebun kopi monokultur yang sedang dalam perubahan menuju kopi multistrata. Bahkan
perkembangan terakhir,
merespon turunnya harga kopi, petani mulai juga melakukan budidaya sayuran di kebun kopi mereka dan hal ini mungkin merupakan
ancaman tehadap lingkungan di masa yang akan
datang. Sampai batas
tertentu, kegiatan petani dalam memanfaatkan lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor pendorong eksternal maupun internal. Secara
nyata tampak bahwa
meningkatnya harga kopi mendorong terjadinya konversi hutan menjadi kebun kopi. Krisis moneter di Asia pada tahun 1997-2000 telah
membawa keuntungan bagi para petani kopi di
Lampung Barat. Padahal
waktu itu harga kopi dunia kurang menguntungkan. Hal itu terjadi karena kebijakan devaluasi rupiah yang mendorong
meningkatnya harga
kopi di
tingkat petani, yang pada gilirannya menaikkan daya beli petani. Kebijakan nasional tentang desentralisasi dan otonomi daerah, akan membuka
kesempatan untuk
melakukan
negosiasi dalam pemanfaatan kawasan hutan negara untuk budidaya kopi. Untuk itu, kendala kelembagaan perlu dihilangkan secara
bertahap, sehingga
lebih banyak lagi pohon dapat ditanam di kebun kopi dalam kawasan hutan lindung. Fungsi DAS dapat diperbaiki setelah
penebangan hutan. Hal
yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pihak-pihak yang berkepentingan secara jelas memahami apa yang diharapkan dari
suatu DAS. Disamping
itu, perlu diperoleh kesepahaman diantara pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal penggunaan lahan terutama tentang
tanaman apa yang
paling
sesuai untuk menggantikan fungsi hutan dan
sekaligus
dapat memberikan kesempatan berusaha bagi petani.
DAFTAR PUSTAKA
Aini, F.K.
(2006). Kajian diversitas rayap pasca alih guna hutan menjadi lahan
pertanian. Thesis. Paska Sarjana,
Universitas Brawijaya, Malang.
Direktorat Jenderal Perkebunan,
Departemen Pertanian. 2006. Statistik Perkebunan Indonesia 2003 – 2005
(Kopi), Jakarta
Nasriati, 2006. Analisis Usahatani
Kopi Pada Sistem Usahatani Konservasi Lahan Kering Berbasis Tanaman Kopi Di
Kabupaten Lampung Barat. Laporan Tahunan
BPTP
Lampung. Bandar Lampung
Syam, T.; Nishide, H.; Salam, A.K.;
Utomo, M.; Mahi, A.T.; Lumbanraja, J.; Nugroho, S.G. dan M. Kimura.
1997. Land Use and Cover Changes in a
Hilly Area
of South Sumatra, Indonesia (from
1970 -
1990). Soil Science and Plant Nutrition
43(3):
587-599.
Van Noordwijk, M.; Tomich, T.P. dan
B.J.P. Verbist. 2001. Negotiation Support Models for Integrated Natural
Resource Management in Tropical Forest
Margins.
Conservation Ecology 5(2): 18pp.
Van
Noordwijk M, 2008. Agroforestri sebagai solusi mitigasi dan adaptasi pemanasan
global: Pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan fleksibel terhadap
berbagai perubahan. Makalah Bunga Rampai pada Seminar Nasional Agroforestri
“Pendidikan Agroforestri sebagai strategi menghadapi pemanasan global”, UNS,
Solo, 4-6 Maret 2008.
makasih sangat membantu sekali kak
BalasHapuspromo jsm alfamart minggu ini