Sabtu, 27 Mei 2017

makalah teknik konservasi lingkungan agroforestri berbasis kopi

ABSTRAK
Penggunaan lahan berubah dengan pesat di Asia Tenggara, dari hutan menjadi sistem dengan tutupan berbagai jenis pepohonan. Daerah hulu Way Besai, salah satu daerah aliran sungai (DAS) seluas 40.000 ha di Lampung Barat, Sumatra, mencakup Kecamatan Sumberjaya dengan luas areal 54.200 ha adalah salah satu contoh daerah yang mengalami alih guna lahan yang cepat. Hutan di wilayah ini berubah menjadi mosaik lansekap dengan berbagai tingkat penutupan lahan. Sumberjaya mengalami perubahan yang relatif cepat selama tiga dasa warsa terakhir. Hutan yang semula luasnya mencapai 60% telah berubah menjadi perkebunan kopi rakyat, persawahan di lembah bukit, dan perkampungan, sehingga hutan yang tersisa hanya 12% dari total luas lahannya. Perubahan itu diiringi pergolakan masyarakat, bahkan ada yang disertai kekerasan selama sepuluh tahun terakhir. Pemahaman yang seksama tentang perubahan yang terjadi harus bertitik-tolak dari sudut pandang historisnya, dan berdasarkan pengamatan secara cermat terhadap perubahan penggunaan dan penutupan lahan selama beberapa dekade terakhir. Dengan menggunakan pendekatan analisis sistem, kajian ini menganalisis pengaruh fluktuasi harga kopi di pasar dunia, pertumbuhan penduduk dan migrasi, serta dampak pembangunan jalan dan infra struktur terhadap alih guna lahan dan fungsi DAS di Sumberjaya. Kajian ini menyimpulkan bahwa setelah fase degradasi hutan, rehabilitasi dapat berjalan selama kondisinya mendukung. Dalam 15 tahun terakhir, semakin banyak budidaya kopi yang semula berbentuk sistem monokultur, secara bertahap berubah menjadi budidaya kopi campuran dengan pohonpohon penaung. Pengamatan menunjukkan bahwa sejalan dengan berlangsungnya penebangan hutan, terjadi pula penanaman kembali pohon-pohonan. Pada saat krisis ekonomi di Asia Tenggara berlangsung dan membawa dampak serius terhadap perekonomian Indonesia sejak akhir 1997, DAS yang berorientasi komoditas ekspor ini justru mengalami lonjakan ekonomi; walaupun fluktuasi tahunan harga kopi juga merupakan masalah besar. Makalah ini membahas tentang kecenderungan terakhir dari adanya alih guna lahan, faktor-faktor pendorongnya, dan bagaimana para petani (dan juga instansi pemerintah) merespon terhadap perubahan yang sedang berjalan.

Kata kunci: Berkelanjutan, faktor pendorong terjadinya alih guna lahan, kopi multistrata, fungsi DAS

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Pembangunan kehutanan diarahkan untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat dengan tetap menjaga kelestarian dan kelangsungan fungsi hutan. Dalam pelaksanaan pembangunan kehutanan sangat diperlukan peran serta masyarakat di dalam dan di luar kawasan hutan. Untuk itu keberhasilan pembangunan kehutanan sangat ditentukan oleh keberhasilan pembangunan masyarakat sekitar terutama untuk peningkatan kesejahteraan.
Perubahan penggunaan lahan dari hutan menjadi areal pertanian merupakan kenyataan yang terjadi sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Di daerah Sumberjaya, masyarakat telah banyak mengkonversi lahan hutan menjadi areal perkebunan kopi sebagai mata pencahariannya. Pada tahun 1970-an sekitar 60% daerah ini masih dalam keadaan hutan alam, tetapi pada akhir tahun 1990-an hanya sekitar 15% hutan yang masih tertinggal.
Alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan fauna, banjir, kekeringan dan bahkan perubahan lingkungan global. Masalah ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversikan menjadi lahan usaha lain. Agroforestri adalah salah satu sistem pengelolaan lahan yang mungkin dapat ditawarkan untuk mengatasi erosi lahan karena air hujan.

1.2. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah agar mahasiswa/pembaca lebih mengetahui Agroforestry bebasis Kopi. Dan agar mengetahui budidaya Kopi

1.3. Manfaat
Manfaatnya agar kita lebih paham tentang Agroforestry berbasis Kopi. Dan menjaga lingkungan disekitarnya.
II. TINJAUAN PUSTAKA

Agroforestri sebagai suatu sistem pengolahan lahan yang berazaskan kelestarianuntuk meningkatkan produktivitas lahan secara keseluruhan, yaitu dengan mengkombinasikan produksi tanaman pertanian (termasuk tanaman pohon-pohonan) dan tanaman hutan, dan atau hewan secara bersamaan atau berurutan, pada unit lahan yang sama, dan menerapkan cara-cara pengelolaan yang sesuai dengan budaya setempat. Ada juga yang mendefinisikan Agroforestri sebagai Suatu metode penggunaan lahan secara optimal yang mengkombinasikan sistem produksi biologis yang berotasi pendek dan panjang, secara bersamaan atau berurutan (suatu kombinasi produksi kehutanan dan produksi biologis lainnya) dengan cara yang dilandasi oleh azas kelestarian, dalam suatu kawasan hutan atau kawasan di luarnya, dengan tujuan untuk mencapai kesejahteraan rakyat.
Penanaman berbagai macam pohon dengan atau tanpa tanaman setahun (semusim) pada lahan yang sama sudah sejak lama dilakukan petani di Indonesia. Contoh ini dapat di lihatdengan mudah pada lahan pekarangan di sekitar tempat tinggal petani.  Praktek ini semakinmeluas belakangan ini khususnya di daerah pinggiran hutan dikarenakan Ketersediaan lahan yang   semakin   terbatas Konversi   hutan   alam   menjadi   lahan   pertanian   disadari menimbulkan banyak masalah seperti penurunan kesuburan tanah, erosi, kepunahan flora dan  fauna,  banjir,  kekeringan  dan  bahkan  perubahan  lingkungan  global. Masalah  ini bertambah berat dari waktu ke waktu sejalan dengan meningkatnya luas areal hutan yang dikonversi menjadi lahan usaha lain. Maka lahirlah agroforestri sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan baru di bidang pertanian atau kehutanan. Ilmu ini berupaya mengenali dan mengembangkan keberadaan sistem agroforestri yang telah dikembangkan petani di daerah beriklim tropis  maupun  beriklim  subtropis  sejak  berabad-abad  yang  lalu. Agroforestri merupakan gabungan ilmu kehutanan dengan agronomi, yang memadukan usaha kehutanan dengan   pembangunan   pedesaan   untuk   menciptakan   keselarasan  antara   intensifikasi pertanian dan pelestarian hutan. Agroforestri diharapkan bermanfaat selain untuk mencegah perluasan tanah terdegradasi, melestarikan  sumberdaya  hutan,  meningkatkan  mutu  pertanian  serta menyempurnakan intensifikasi  dan  diversifikasi  silvikultur.  Sistem  ini  telah dipraktekkan  oleh  petani  di berbagai tempat di Indonesia selama berabad-abad (Michon dan de Foresta, 1995), misalnya sistem ladang berpindah, kebun campuran di lahan sekitar rumah (pekarangan) dan padang penggembalaan. Contoh lain yang umum dijumpai di Jawa adalah mosaik-mosaik padat dari hamparan persawahan dan tegalan produktif yang diselang-selingi oleh rerumpunan pohon.
Sebagian dari rerumpunan pohon tersebut mempunyai struktur yang mendekati hutan alam dengan beraneka-ragam spesies tanaman. Berdasarkan motivasi yang dimiliki petani, terdapat dua sistem terbentuknya agroforestri di lapangan   yaitu   sistem   bercocok   tanam   "tradisional"   dan   sistem   "modern".   Sistem "tradisional" adalah  sistem  yang  "dikembangkan  dan  diuji"  sendiri  oleh  petani,  sesuai dengan  keadaan  alam  dan  kebutuhan  atau  permintaan  pasar,  serta  sejalan dengan perkembangan  pengalamannya  selama  bertahun-tahun  dari  satu  generasi ke  generasi berikutnya.   Dalam sistem “tradisional”, pengembangan bercocok tanam biasanya hanya didasarkan  pada  usaha  coba-coba  (trial  and  error),  tanpa penelitian  formal  maupun bimbingan  dari  penyuluh/petugas  lapangan.   Dalam sistem  bercocok  tanam  "modern", gagasan dan teknologi berasal dari hasil-hasil penelitian.
Pada dasarnya agroforestri mempunyai komponen pokok yaitu kehutanan, pertanian, peternakan dan perikanan. Penggabungan komponen-komponen yang termasuk dalam agroforestri dikenal dengan nama :
  • Agrisilvikultur merupakan Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan (pohon, perdu, palem, bambu, dll.) dengan komponen pertanian.
  • Silvopastura merupakan Kombinasi antara komponen atau kegiatan kehutanan dengan peternakan
  • Agrosilvopastur merupakan Kombinasi antara komponen atau kegiatan pertanian dengan kehutanan dan peternakan/hewan

III. PEMBAHASAN

3.1. Defenisi Agroforestry Berbasis Kopi
            Agroforestry berbasis Kopi merupakan model tanaman alam yang sengaja tumbuh untuk menurunkan tingkat erosi yang terjadi akibat air hujan atau aliran sungai.
Secara tradisional, praktek wanatani telah berkembang di seluruh penjuru nusantara yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia sebagai wujud kearifan lokal dalam menjaga hutan di sekitar mereka. Pengembangan wanatani secara tradisional dikemas dalam konsep kebun campuran, tegalan berpohon, ladang, lahan bera (belukar), kebun pekarangan, hingga hutan-hutan tanaman rakyat yang lebih kaya jenis seperti yang dikenal dalam rupa talun di Jawa Barat, repong di Lampung Barat, parak di Sumatra Barat, tembawang (tiwmawakng) di Kalimantan Barat, simpung (simpukng) di Kalimantan Timur, kebun karet campur di Jambi dan lain-lain bentuk di berbagai daerah di Indonesia
            Sistem agroforestri merupakan kombinasi berbagai jenis pohon dengan tanaman semusim. Sistem agroforestri telah dilaksanakan sejak dahulu kala oleh petani di berbagai daerah, dengan berbagai macam iklim, jenis tanah dan sistem pengelolaannya. Pengelolaan sistem agroforestri berbeda-beda antar petani. Tindakan pemupukan, pengolahan tanah, penyiangan, pemangkasan dan pemberantasan hama serta penyakit sangat bergantung kepada ketersediaan modal, tenaga kerja dan budaya. Adanya perbedaan pengelolaan tersebut mengakibatkan perbedaan kuantitas dan kualitas produksi agroforestri, walaupun sistem agroforestri yang diusahakan mungkin mempunyai komponen yang sama (Noordwijk dan Lusiana dalam Hairiah dkk, 2002). Salah satu bentuk perwujudan agroforestri, agroforest kopi pengelolaannya hanya memerlukan modal dan biaya pemeliharaan yang rendah. Universitas Sumatera Utara Keuntungannya tidak hanya dari segi modal dan biaya, tetapi juga dari segi konservasi lingkungan dan keragaman hayati serta mempunyai nilai positif terhadap perbaikan kondisi hidrologi pada daerah aliran sungai. Kelemahan dari kebun karet adalah produktivitasnya rendah sehingga menjadi hambatan untuk pengembangan di masa depan, karena petani akan lebih memilih jenis tanaman atau usaha yang lebih menguntungkan

3.2. Mekanisme Agroferestry berbasis Kopi
Tahap untuk penanaman kopi yaitu pertama memilih lahan yang akan ditanami kopi, setelah lahan dipilih maka selanjutnya dilakukan pembukaan lahan dan persiapan lahan dengan cara melakukan pembersihan lahan. Pembersihan dapat dilakukan dengan membersihkan semak belukar dan kayu-kayu kecil serta melakukan penebangan pohon yang tidak dibituhkan sebagai naungan pada tanaman kopi. Pembersihan lahan dapat dilakukan dengan menggunakan alat seperti sabit untuk membersihkan semak belukar dan menggunakan alat berat seperti alat untuk menebang pohon. Pembersihan areal lahan juga sering di akhiri dengan tahap pengolahan tanah. pengolahan tanah umumnya dilakukan dengan cara mekanis khususnya pada areal yang dibuka untuk penanaman kopi yang cukup luas. Pada kegiatan pembersihan areal lahan juga perlu dilakukan pembuatan jalan setapak dan saluran drainase supaya air pada saat musim hujan tidak lepas begitu saja dan dapatmasuk kedalam tanah. Tanaman kopi dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, asalkan persyaratan fisik dan kimia tanah yang berperan pada pertumbuhan dan produksi tanaman kopi bisa terpenuhi. Kemasaman tanah (pH), kadar zat organik, unsur hara, kapasitas adsorbsi dan kejenuhan basa merupakan sifat kimia yang perlu diperhatikan, sedangkan faktor fisiknya adalam kedalaman efektif, tinggi permukaan air tanah, drainase, struktur dan konsistensi tanah. Selain itu kemiringan lahan juga merupakan sifat fisik yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan dari tanaman kopi.  Pembuatan lubang tanam dapat dipandang sebagai salah satu bentuk pengolahan tanah dalam skala kecil dan dianggap sebagai salah satu upaya minimumtillage. Pembuatan lubang tanam bertujuan untuk menyediakan lingkungan perakaran yang optimal bagi bibit kopi baik secara fisik, kimia dan biologi. Tanah yang berada dilapangan sering terlalu mampat bagi perakaran bibit kopi untuk berkembang dengan baik setelah dipindahkan dari tanah gembur di dalam polibag. Oleh karena itu kondisi yang relative sama dengan pembibitan perlu disiapkan dilapangan dengan cara mengolah tanah seminimal mungkin atau dengan cara membuat lubang tanam bagi bibit kopi. Dengan pembuatan lubang tanam ini maka diharapkan dapat mendukung tanaman dalam beradaptasi dengan baik pada awal pertumbuhannya dilapang. Ukuran lubang tanam yang sering diterapkan di lapang sekitar 60 x 60 x 60 cm. untuk pembuatan lubang tanam sendiri dibuat 3 – 6 bulan sebelum melakukan penanaman dengan cara membiarkan tanah galian teronggok disekitar lubang 2 – 3 bulan. 
Pada umumnya, alih guna lahan dari hutan menjadi kebun kopi maupun sistem pertanian lainnya akan menyebabkan perubahan kondisi lingkungan di sekitarnya terutama fungsi hidrologi, kesuburan tanah, cadangan karbon dan keragaman hayati. Pengelolaan lahan dengan menanam berbagai jenis pohon sebagai penaung tanaman kopi (agroforestri berbasis kopi) telah banyak dilaporkan dapat membantu mempertahankan fungsi lingkungan. Selain itu, kondisi pada agroforestri berbasis kopi dengan pohon penaung yang lebih beragam hingga menyerupai hutan, mempunyai stabilitas ekosistem yang lebih tinggi sehingga potensi terjadinya ledakan hama berkurang (Schroth dalam Rahayu, 2006). Pertanaman kopi di Lampung pada umumnya bersistem monokultur. Pola tanam kopi monokultur ini memiliki beberapa kelemahan antara lain lebih rentan terhadap gangguan OPT, memiliki masukan seresah yang rendah, kanopi terbuka, dan kondisi iklim mikronya yang kering yang tidak cocok bagi aktivitas musuh alami hama tanaman. Untuk memperbaiki ekosistem tersebut dilakukan penanaman kopi bernaungan atau sistem agroforestri. Penerapan sistem agroforestri pada tanaman kopi yang dicirikan oleh banyaknya pohon penaung memberi beberapa manfaat. Sistem ini dapat meningkatkan keragaman hayati, mengkonservasi kesuburan tanah, dan meningkatkan kesehatan tanaman. Sistem agroforestri memiliki kemiripan dengan hutan yaitu ekosistemnya yang stabil sehingga mampu menghambat perkembangan OPT pada tanaman kopi (Staver dalam Maharani, 2013).
 Selain menanam pohon kayu-kayuan yang sekaligus berperan sebagai pohon pelindung kopi, penerapan teknologi konservasi diperlukan untuk mengelola usahatani kopi di kawasan hutan yang umumnya daerahnya berbukit, curam, dan terjal yaitu dengan menerapkan konservasi tanah dan air, konservasi biotik, serta pengurangan risiko usaha dengan diversifikasi. Namun penerapan konservasi tanah petani kopi masih rendah. Penerapan konservasi tanah usahatani kopi di kawasan hutan Lampung Barat adalah 50,13 persen dan untuk luar kawasan hutan 53,81.

3.3. Jenis-Jenis Agroforestry
Pola agroforestri dapat dikelompokkan menjadi dua kategori utama, yakni sistem agroforestri sederhana dan sistem agroforestri kompleks. Kedua tipe ini berasal dari dua konsepsi yang berbeda dan membutuhkan pendekatan yang berbeda pula.

1.    Sistem Agroforestri Sederhana
Sistem agroforestri sederhana adalah suatu sistem pertanian dimana pepohonan ditanam secara tumpang sari dengan satu atau lebih tanaman semusim. Pepohonan bisa ditanam sebagai pagar mengelilingi petak lahan tanaman pangan, secara acak dalam petak lahan, atau dengan pola lain misalnya berbaris dalam larikan sehingga membentuk lorong/pagar.
Sistem agroforestri sederhana adalah perpaduan-perpaduan konvensional yang terdiri atas sejumlah kecil unsur, menggambarkan apa yang kini dikenal dengan sebagai skema agroforestri klasik. Dari sudut penelitian dan persepsi berbagai lembaga yang menangani agroforestri, tampaknya sistem agroforestri sederhana menjadi perhatian utama. Biasanya perhatian terhadap perpaduan tanaman itu menyempit menjadi satu unsur pohon yang memiliki peran penting (seperti kelapa, karet, cengkeh, jati dan lain-lain) atau memiliki peran ekologi (seperti dadap dan petai cina) dan sebuah unsur tanaman musiman kopi, yang juga memiliki nilai ekonomi.
2.    Sistem Agroforestri Kompleks
Sistem agroforestri kompleks atau singkatnya agroforest, adalah sistem-sistem yang terdiri dari sejumlah besar unsur pepohonan, perdu, tanaman musiman, dan atau rumput. Penampakan fisik dan dinamika di dalamnya mirip dengan ekosistem hutan alam primer atau sekunder. Sistem agroforestri kompleks bukanlah hutan-hutan yang ditata lambat laun melalui transformasi ekosistem secara alami, melainkan merupakan kebun-kebun yang ditanam melalui proses perladangan. Kebun-kebun agroforest dibangun pada lahan-lahan yang sebelumnya dibabati kemudian ditanami dan diperkaya. Dalam kondisi terbatasnya lahan karena ledakan jumlah penduduk dan perluasan konsesi penebangan hutan dan transmigrasi serta hutan tanaman industri, lahan yang masih tersisa kebanyakan sudah berupa agroforest.

3.4. Syarat Tumbuh Agroforetry berbasis Kopi
Secara ekonomis pertumbuhan dan produksi tanaman kopi sangat tergantung pada atau dipengaruhi oleh keadaan iklim dan tanah. Kebutuhan pokok lainnya yang tak dapat diabaikan adalah mencari bibit unggul yang produksinya tinggi dan tahan terhadap hama dan penyakit. Setelah persyaratan tersebut dapat dipenuhi, suatu hal yang juga penting adalah pemeliharaan, seperti: pemupukan, pemangkasan, pohon peneduh, dan pemberantasan hama dan penyakit.
1.      Iklim
Iklim yang Cocok untuk Tanaman Kopi :
·                           Garis lintang 6LU sampai 24o LS.
·                           Tinggi tempat 1250 s/d 1.850 m dpl.
·                           Curah hujan 1.500 s/d 2.500 mm/th.
·                           Bulan kering (curah hujan < 60 mm/bulan) 13 bulan.
·                           Suhu udara ratarata 1721o C.
2.      Angin
Pohon tanaman kopi tidak tahan terhadap goncangan angin kencang, lebihlebih dimusim kemarau. Karena angin itu mempertinggi penguapan air pada permukaan tanah perkebunan. Selain mempertinggi penguapan, angin dapat juga mematahkan dan merebahkan pohon pelindung yang tinggi, sehingga merusakkan tanaman di bawahnya.

3.      Tanah
Sehubungan dengan tanah ini yang penting untuk dipelajari terutama sifat fisik tanah dan sifat kimia tanah.
·         Sifat fisik tanah untuk pertanaman kopi
Sifat fisik tanah meliputi: tekstur, struktur, air dan udara di dalam tanah. Tanah untuk tanaman kopi berbedabeda, menurut keadaan dari mana asal tanaman itu. Pada umumnya tanaman kopi menghendaki tanah yang lapisan atasnya dalam, gembur, subur, banyak mengandung humus, dan permeable, atau dengan kata lain tekstur tanah harus baik. Tanah yang tekstur/strukturnya baik adalah tanah yang berasal dari abu gubung berapi atau yang cukup mengandung pasir. Tanah yang demikian pergiliran udara dan air di dalam tanah berjalan dengan baik. Tanah tidak menghendaki air tanah yang dangkal, karena dapat membusukkan perakaran, sekurangkurangnya kedalaman air tanah 3 meter dari permukaannya. Akar tanaman kopi membutuhkanoksigen yang tinggi, yang berarti tanah yang drainasenya kurang baik dan tanah liat berat adalah tidak cocok. Sebab kecuali tanah itu sulit ditembus akar, peredaran air dan udara pun menjadi jelek.
Sifat fisik tanah meliputi: tekstur, struktur, air dan udara di dalam tanah. Tanah untuk tanaman  kopi  berbeda-beda,  menurut  keadaan  dari mana  asal  tanaman  itu.  Pada  umumnya  tanaman  kopi  menghendaki  tanah  yang  lapisan  atasnya  dalam,  gembur,  subur,  banyak  mengandung  humus,  dan  permeable, atau  dengan  kata  lain  tekstur  tanah  harus  baik.  Tanah  yang  tekstur/strukturnya  baik  adalah  tanah  yang  berasal  dari abu gubung berapi  atau  yang  cukup  mengandung  pasir.  Tanah  yang  demikian  pergiliran  udara  dan  air  di  dalam  tanah  berjalan  dengan  baik.  Tanah tidak menghendaki  air  tanah  yang  dangkal,  karena  dapat membusukkan  perakaran,  sekurang-kurangnya  kedalaman air  tanah  3  meter  dari  permukaannya.  Akar  tanaman  kopi membutuhkanoksigen  yang  tinggi,  yang berarti  tanah  yang  drainasenya  kurang  baik  dan  tanah  liat  berat  adalah  tidak  cocok.  Sebab kecuali tanah itu  sulit ditembus  akar,  peredaran air dan udara pun menjadi jelek. Demikian  pula  tanah  pasir  berat,  pada  umumnya  kapasitas kelembaban  kurang, karena  kurang  dapat  mengikat  air. Selain  itu  tanah  pasir  berat  juga  mengandung  N atau zat lemas. Zat lemas  sangat dibutuhkan oleh  tanaman  kopi,  terutama dalam pertumbuhan  vegetatif. Hal  ini dapat dibuktikan pada pertumbuhan tanaman di tanah-tanah hutan belantara hasilnya sangat  memuaskan, karena humus banyak mengandung berbagai macam  zat yang  dibutuhkan untuk pertumbuhan  dan  pembuahan. Sebaliknya pada tanah-tanah yang ditanami kembali (tanaman ulang = replanting pertumbuhan dan hasilnya  kurang memuaskan.  Maka  apabila  dipandang  perlu  tanaman  ulang ini  hendaknya  diganti  dengan  tanaman  yang  tidak  sejenis, karena tanaman yang berlainan kebutuhan zat makanan juga berbeda. 
Demikian pula tanah pasir berat, pada umumnya kapasitas kelembaban kurang, karena kurang dapat mengikat air. Selain itu tanah pasir berat juga mengandung N atau zat lemas. Zat lemas sangat dibutuhkan oleh tanaman kopi, terutama dalam pertumbuhan vegetatif. Hal ini dapat dibuktikan pada pertumbuhan tanaman di tanahtanah hutan belantara hasilnya sangat
·         Sifat Kimia Tanah
Sifat kimia tanah yang dimaksud di sini ialah meliputi kesuburan tanah dan PH. Tanaman kopi menghendaki reksi yang agak asam dengan PH 5,5 6,5. Tetapi hasil yang baik sering kali diperoleh pada tanaman yang lebih asam, dengan catatan keadaan fisisnya baik, dengan daundaun cukup ion Ca++ untuk fisiologi zat makanan dengan jumlah makanan tanaman yang cukup. Pada tanah yang bereaksi lebih asam, dapat dinetralisasi dengan kapur tohor, atau yang lebih tepat diberikan dalam bentuk pupuk; misalnya serbuk tulang/Ca(PO2) + Calsium metaphospat/Ca(PO2)

3.5   Teknik Penerapan
Pertanaman kopi memerlukan pohon pelindung. Maka dari itu, sebelum menanam kopi terlebih dahulu menanam pohon pelindung (Agroforestri). Di Lampung pohon pelindung yang banyak dipakai petani adalah glirisidea (gamal/kayu hujan). Tahapan persiapan tanam dan penanaman kopi sbb:
·         Tanamlah pohon pelindung. Sebaiknya menggunakan jenis lamtoro yang ditanam satu tahun sebelum kopi ditanam. Penanaman pohon pelindung diletakkan pada satu titik diantara empat pohon kopi.
·          Setelah pohon pelindung tumbuh, sekitar 1-3 bulan menjelang musim hujan, buatlah lubang tanam untuk kopi dengan ukuran (panjang x lebar x dalam) 60x60x60 cm. Lubang tanam diisi pupuk kandang (kotoran sapi) sebanyak 10 kg/lubang, kemudian ditutup dengan tanah bekas galian.
·          Lubang tanam digali lagi seluas satu cangkul (sedalam 20 cm) pada saat penanaman. Penanaman kopi secara poliklonal dengan membentuk komposisi (3-4 klon) yang sesuai. Masing-masing klon ditanam secara berbaris diantara pohon pelindung

            Pengaturan penanaman poliklonal diatur secara sistematis, setiap klon ditanam dalam lajur tertentu berseling dengan klon pasangan komposisi yang dipilih, antara lain berdasarkan pada :
·      Sifat daya adaptabilitas daya hasil yaitu yang mampu beradaptasi dengan baik seperti: klon BP 42, BP 358, dan SA 237 dan toleran terhadap iklim basah seperti; klon BP 534 dan BP 936,
·         Sifat berbunga yang relatif serempak agar proses persarian (pembuahan) dapat berlangsung dengan baik, dan
·         Keseragaman ukuran biji yang dihasilkan lebih seragam ukuran biji yang tidak seragam dapat menyulitkan dalam kegiatan pemasaran.

3.6  Efektifitas dalam Konservasi Tanah
Agroforestry salah satu cara konservasi tanah dan air secara vegetatif dinilai mampu untuk mengatasi permasalahan penurunan kualitas lahan, dan peningkatan ekonomi. Dengan penerapan sistim agroforestry diharapkan mampu mengembalikan fungsi konservasi tanah dan air sebagai sistim penyangga kehidupan.
Menurut Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Prof Dr. Ir. Muhjidin Mawardi MEng, bahwa terdapat paling tidak empat faktor utama yang menentukan keberhasilan rekayasa konservasi tanah dan air, yaitu sifat-sifat fisik tanah dan lahan, sifat hujan, interaksi antara hujan dengan tanah dan lahan yang menghasilkan air limpasan permukaan dan infiltrasi, serta simpanan air dalam tanah.
Agroforestry dalam konservasi tanah dan air adalah bagaimana pengaruh kondisi vegetasi suatu hamparan lahan didalam mengatur tata air memperbaiki kesuburan lahan. Bagaimana perpaduan pola tanam dan kolaborasi antar macam kegiatan ekonomi yang berbasis agroforestry yang mengarah perbaikan kondisi lingkungan, sehingga manfaat multi fungsi dapat dirasakan.
Pengaruh tutupan pohon terhadap aliran air adalah dalam bentuk (Noordwijk, et al. 2004 ) :
1.               Intersepsi air hujan. Selama  kejadian hujan, tajuk pohon dapat mengintersepsi  dan menyimpan sejumlah air hujan dalam bentuk lapisan tipis air.
2.               (Waterfilm) pada permukaan daun dan batang yang selanjutnya akan mengalami evaporasi sebelum jatuh ke tanah. Banyaknya air yang dapat diintersepsi dan dievaporasi  tergantung pada indeks luas daun (LAI), karakteristik permukaan daun,  dan  karakteristik  hujan.  Intersepsi merupakan komponen penting jika jumlah curah hujan rendah, tetapi dapat diabaikan jika curah hujan tinggi. Apabila curah hujan tinggi, peran intersepsi pohon penting dalam kaitannya dengan pengurangan banjir.
3.               Daya pukul air hujan. Vegetasi dan lapisan seresah melindungi permukaan tanah dari pukulan langsung  tetesan  air  hujan  yang  dapat menghancurkan agregat tanah, sehingga terjadi pemadatan tanah. Hancuran partikel tanah akan menyebabkan penyumbatan pori tanah makro sehingga menghambat infiltrasi air tanah, akibatnya limpasan permukaan akan meningkat. Peran  lapisan  seresah  dalam  melindungi permukaan tanah sangat dipengaruhi oleh ketahanannya terhadap pelapukan; seresah berkualitas tinggi (mengandung hara, terutama N tinggi) akan mudah melapuk sehingga fungsi penutupan permukaan tanah tidak bertahan lama.
4.               Infiltrasi air. Proses infiltrasi tergantung pada struktur tanah pada lapisan permukaan dan berbagai lapisan dalam profil tanah. Struktur tanah juga dipengaruhi oleh aktivitas biota yang sumber energinya tergantung kepada bahan organic (seresah di permukaan, eksudasi organik oleh akar, dan akar-akar yang mati). Ketersediaan makanan bagi biota (terutama cacing tanah), penting  untuk mengantisipasi adanya proses peluruhan dan penyumbatan pori makro tanah.
5.               Serapan air.  Sepanjang tahun tanaman menyerap air dari berbagai lapisan tanah untuk mendukung proses transpirasi pada permukaan daun. Faktor– faktor yang mempengaruhi jumlah serapan air oleh pohon adalah fenologi pohon, distribusi akar dan respon fisiologi pohon terhadap cekaman parsial air tersedia.  Serapan air oleh pohon diantara kejadian hujan akan mempengaruhi jumlah air yang dapat disimpan dari kejadian hujan berikutnya,   sehingga   selanjutnya   akan mempengaruhi proses infiltrasi dan aliran permukaan. Serapan air pada musim kemarau, khususnya dari lapisan tanah bawah akan mempengaruhi jumlah air tersedia untuk ‘aliran lambat’ (slow flow).
6.               Drainase lansekap.  Besarnya drainase suatu lansekap (bentang lahan) dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain kekasaran permukaan tanah,  relief    permukaan  tanah    yang memungkinkan air tinggal di permukaan tanah lebih lama sehingga mendorong terjadinya infiltrasi, tipe saluran yang terbentuk akibat aliran permukaan yang dapat memicu terjadinya ‘aliran cepat air tanah’











IV. PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Memperhatikan kembali pertanyaan penelitian, kecenderungan alih guna lahan dapat dibedakan menjadi dua. Pertama, adanya satu fase deforestasi besar-besaran (dari 60% menjadi 12% penutupan hutan) selama 30 tahun, yang mengubah hutan menjadi
kebun kopi monokultur. Kedua, dalam selang waktu 15 tahun terjadi perubahan sebagian besar lahan kopi monokultur menjadi kebun kopi dengan naungan.  Di Indonesia, adanya pembangunan prasarana jalan dan harga kopi di tingkat petani yang relatif tinggi memicu meningkatnya alih guna lahan pada masa lalu. Pembangunan jalan raya, tidak hanya mempermudah dan menekan biaya transportasi beras dari wilayah lain, tetapi juga pemasaran kopi ke luar Sumberjaya. Fluktuasi harga kopi dan efek negatifnya terhadap pendapatan petani, telah mendorong terjadinya diversifikasi penggunaan lahan melalui penanamanpepohonan di sela-sela pohon kopi. Tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi seperti cengkeh dan lada (dengan Gliricidia) merupakan alternatif yang baik untuk diversifikasi. Akhir-akhir ini banyak ditemukan kebun kopi monokultur yang sedang dalam perubahan menuju kopi multistrata. Bahkan perkembangan terakhir, merespon turunnya harga kopi, petani mulai juga melakukan budidaya sayuran di kebun kopi mereka dan hal ini mungkin merupakan ancaman tehadap lingkungan di masa yang akan datang. Sampai batas tertentu, kegiatan petani dalam memanfaatkan lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor pendorong eksternal maupun internal. Secara nyata tampak bahwa meningkatnya harga kopi mendorong terjadinya konversi hutan menjadi kebun kopi. Krisis moneter di Asia pada tahun 1997-2000 telah membawa keuntungan bagi para petani kopi di Lampung Barat. Padahal waktu itu harga kopi dunia kurang menguntungkan. Hal itu terjadi karena kebijakan devaluasi rupiah yang mendorong meningkatnya harga kopi di tingkat petani, yang pada gilirannya menaikkan daya beli petani. Kebijakan nasional tentang desentralisasi dan otonomi daerah, akan membuka kesempatan untuk melakukan negosiasi dalam pemanfaatan kawasan hutan negara untuk budidaya kopi. Untuk itu, kendala kelembagaan perlu dihilangkan secara bertahap, sehingga lebih banyak lagi pohon dapat ditanam di kebun kopi dalam kawasan hutan lindung. Fungsi DAS dapat diperbaiki setelah penebangan hutan. Hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pihak-pihak yang berkepentingan secara jelas memahami apa yang diharapkan dari suatu DAS. Disamping itu, perlu diperoleh kesepahaman diantara pihak-pihak yang berkepentingan dalam hal penggunaan lahan terutama tentang tanaman apa yang paling sesuai untuk menggantikan fungsi hutan dan sekaligus dapat memberikan kesempatan berusaha bagi petani.


DAFTAR PUSTAKA

Aini, F.K. (2006). Kajian diversitas rayap pasca alih guna hutan menjadi lahan
pertanian. Thesis. Paska Sarjana, Universitas Brawijaya, Malang.

Direktorat Jenderal Perkebunan, Departemen Pertanian. 2006. Statistik     Perkebunan Indonesia 2003 – 2005 (Kopi), Jakarta

Nasriati, 2006. Analisis Usahatani Kopi Pada Sistem Usahatani Konservasi Lahan    Kering Berbasis Tanaman Kopi Di Kabupaten Lampung Barat. Laporan Tahunan BPTP Lampung. Bandar Lampung

Syam, T.; Nishide, H.; Salam, A.K.; Utomo, M.; Mahi, A.T.; Lumbanraja, J.; Nugroho, S.G. dan M. Kimura. 1997. Land Use and Cover Changes in a Hilly Area of South Sumatra, Indonesia (from 1970 - 1990). Soil Science and Plant Nutrition 43(3): 587-599.

Van Noordwijk, M.; Tomich, T.P. dan B.J.P. Verbist. 2001. Negotiation Support Models for Integrated Natural Resource Management in Tropical Forest Margins. Conservation Ecology 5(2): 18pp.

Van Noordwijk M, 2008. Agroforestri sebagai solusi mitigasi dan adaptasi pemanasan global: Pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan dan fleksibel terhadap berbagai perubahan. Makalah Bunga Rampai pada Seminar Nasional Agroforestri “Pendidikan Agroforestri sebagai strategi menghadapi pemanasan global”, UNS, Solo, 4-6 Maret 2008.












1 komentar: